Seni di Wajahku: Makeup sebagai Karya dan Perlawanan
Makeup, bagi banyak orang, hanyalah riasan. Alat untuk mempercantik, menutupi kekurangan, atau sekadar rutinitas harian sebelum keluar rumah. Tapi bagiku, makeup adalah lebih dari itu. Ia adalah bentuk seni. Sebuah ekspresi diri. Bahkan, sebuah perlawanan. Aku bukan sekadar memulas warna di wajah. Aku sedang menciptakan karya. Setiap garis eyeliner, tiap gradasi eyeshadow, hingga taburan highlight di tulang pipi—semua punya maksud, semua punya rasa. Wajahku adalah kanvas, dan makeup adalah mediumku untuk menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar “cantik”.
Siti Padilah Lubis
4/15/20253 min read
Makeup Sebagai Bentuk Karya
Sama seperti pelukis yang memainkan warna di atas kanvas, makeup memberiku ruang untuk bereksperimen. Setiap look yang aku ciptakan punya konsep. Kadang terinspirasi dari alam, dari musik, dari perasaan. Kadang spontan, kadang sangat direncanakan.
Ada hari-hari ketika aku merasa seperti seniman. Aku duduk di depan cermin, dengan palet warna terbuka, dan membiarkan jari-jariku berbicara. Rasanya seperti melukis perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Misalnya, suatu malam aku membuat look bernuansa biru tua, abu-abu, dan silver. Seperti langit malam mendung yang belum hujan. Temanku bertanya, "Kok kamu bikin makeup sedih banget?" Aku hanya tersenyum. Karena memang, malam itu, aku sedang hampa. Tapi alih-alih menangis, aku memilih menuangkannya dalam bentuk visual.
Itulah kekuatan makeup. Ia bisa menjadi karya seni yang tak bersuara, namun sangat terasa.
Perlawanan terhadap Standar Kecantikan
Kita hidup di dunia yang terlalu sibuk menetapkan standar tentang bagaimana perempuan seharusnya terlihat. Kulit harus putih, wajah harus mulus, hidung mancung, alis tebal natural tapi tetap rapi, dan jangan terlalu "berlebihan".
Makeup sering kali dianggap palsu—“topeng” yang menipu, atau usaha putus asa untuk diterima. Tapi justru di sinilah letak perlawanannya.
Aku memakai makeup bukan karena ingin diterima. Aku memakainya karena aku ingin bebas.
Bebas berekspresi, bebas menunjukkan versi diriku yang aku pilih. Hari ini aku bisa jadi fierce dengan lipstik merah gelap dan cat-eye tajam. Besok aku bisa tampil manis dengan blush pink dan nuansa nude. Hari lain aku bisa menciptakan karakter fantasy lengkap dengan lukisan di wajah.
Dan dalam semua itu, aku tetap aku. Tidak ada satu pun dari look itu yang palsu. Semuanya adalah bagian dari jati diriku yang kompleks dan terus berubah.
Ketika aku memakai makeup dengan warna-warna tak lazim—biru neon, hijau lime, ungu terang—itu bukan karena aku ingin menarik perhatian. Itu adalah bentuk protes. Bentuk perlawanan terhadap dunia yang terus-menerus menyuruh kita tampil “normal” dan “masuk akal”.
Makeup sebagai Perjalanan Emosional
Bukan hanya tentang hasil akhir di wajah. Proses mengaplikasikan makeup sendiri sudah menjadi semacam ritual bagiku. Di saat aku merasa tidak terkendali, makeup membantuku merasa punya arah. Di tengah kekacauan hidup, membaurkan concealer atau mengarsir alis memberiku ketenangan.
Setiap langkah terasa terapeutik. Prosesnya membuatku lebih mengenal wajahku sendiri—bentuk mataku, struktur tulang pipiku, tekstur kulitku. Dan yang paling penting, aku belajar mengenal diriku sendiri.
Kadang aku menangis saat sedang menghapus makeup. Bukan karena hasilnya gagal, tapi karena look itu membantuku menghadapi perasaan yang selama ini kupendam. Makeup menjadi jembatan antara hatiku dan dunia luar. Ia membuat yang tak terlihat, menjadi tampak.
Respon Orang Lain: Antara Kagum dan Salah Paham
Tidak semua orang memahami kenapa aku "serius" dengan makeup. Ada yang melihatnya sebagai hal remeh. Ada yang bilang, “Kalau kamu pede tanpa makeup, kenapa masih dandan segitunya?” atau, “Ngabisin waktu banget sih cuma buat riasan?”
Tapi aku tidak butuh persetujuan mereka. Aku tidak memakai makeup untuk menyenangkan mata siapa pun. Setiap look yang aku buat, adalah bentuk komunikasi antara aku dan diriku sendiri. Jika orang lain bisa melihat keindahannya, aku senang. Jika tidak—itu bukan masalah.
Dan di sisi lain, aku juga bertemu dengan banyak orang yang mengerti. Sesama pecinta makeup yang menjadikan wajah mereka sebagai ruang ekspresi. Kami berbagi tips, saling memuji karya, dan memberi semangat ketika satu sama lain merasa tidak cukup baik. Komunitas ini memberiku ruang untuk berkembang dan merasa diterima.
Dari Makeup ke Empowerment
Makeup memberiku kekuatan. Bukan karena ia mengubah penampilanku, tapi karena ia mengingatkanku bahwa aku punya kendali. Kendali atas caraku tampil. Kendali atas narasi tentang diriku. Kendali atas bagaimana aku ingin dilihat dan dirasakan.
Dari sekadar memulas lipstik, aku belajar banyak tentang kepercayaan diri. Tentang keberanian menjadi berbeda. Tentang menerima bahwa kecantikan bukan hanya satu bentuk, satu warna, atau satu standar.
Dan mungkin inilah bentuk seni yang paling personal: seni yang tidak hanya dilihat, tapi juga dirasakan. Yang hidup di wajah kita, dan hidup kembali dalam ingatan orang lain.
Kesimpulan: Wajahku adalah Medium, Aku adalah Senimannya
Makeup tidak akan pernah hanya tentang "cantik" bagiku. Ia adalah alat untuk merayakan diri sendiri, untuk menyuarakan hal-hal yang tak terdengar, dan untuk mengubah ruang sempit menjadi panggung kebebasan.
Wajahku bukan sekadar permukaan kulit. Ia adalah medium tempat aku menciptakan. Setiap look yang kubuat adalah cerita, adalah karya. Dan dalam setiap garis, warna, dan shimmer yang kupilih, tersimpan kekuatan, kejujuran, dan perlawanan.
Makeup adalah seni. Dan aku adalah senimannya